Kamis, 22 Desember 2011

KODE ETIK DALAM BK


Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan Profesi BK

 

Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN)



Perkembangan bimbingan dan konseling  tidak akan terlepas dari Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN). Legal atau tidaknya suatu profesi di tentukan dengan Undang-undang tersebut. Apabila suatu profesi tidak memiliki dan atau tidak tercantum dalam UUSPN maka profesi tersebut di nilai tidak legal namu apabila tercantum maka di nilai legal dan memiliki dasar hukum. 
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun makalah ini untuk mengetahui perkembangan bimbingan dan konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) dan sebagai upaya untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Profesi Bimbingan dan Konseling . Adapun judul makalah yang penulis susun adalah, “Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN)”.

1.   Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo dahulu.
UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disahkan bulan Maret 1989 di lingkungan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB). Timbul berbagai kegusaran dan rasa was-was mengenai status tenaga bimbingan dalam UUSPN, juga kekhawatiran mengenai implikasi dari pernyataan dalam UUSPN terhadap masa depan jurussan PPB, nasib para lulusannya dan profesi bimbingan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena ada inkonsistensi antara Pasal 1 ayat 8 dengan Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 1 (8): “Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik”. (catatan: disini kata membimbing disebut lebih dahulu).
Pasal 27 (1): “Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan layanan teknis dalam bidang pendidikan”.
Pasal 27 (2): “Tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, serta teknisi sumber belajar”.
Pasal 27 (3): “Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen”.
Berbagai dugaan dan tafsiran muncul, ada yang mengatakan bahwa tidak  dicantumkannya pembimbing dalam UUSPN semata-mata karena terlupakan dan bukan kesengajaan. Tetapi berdasarkan pengakuan anggota DPR RI, keterlupaan itu sangat kecil kemungkinannya sebab setiap kata, kalimat, istilah, bahkan sampai titik dan koma serta huruf besar atau kecil dibahas secara rinci beserta implikasi dan kemungkinan tafsirannya yang bisa timbul. Lagi pula tidak mungkin ada keterlupaan massal.
Namun ada tafsiran yang lebih optimistik yaitu bahwa tenaga bimbingan secara implisit masuk dalam pengertian tenaga kependidikan (Pasal 27)  menurut rincian Pasal 1 ayat 8. Secara logika memang harus demikian tafsirannya sebaliknya jika tidak, maka ada inkonsistensi antar kedua Pasal ini.
Ada juga tafsiran bahwa pengertian Pasal 1 ayat 8, kata membimbing tidak mengacu kepada tenaga pembimbing, melainkan menunjuk pada pekerjaan bimbingan sebagai fungsi dari tugas-tugas keguruan. Dalam hal ini disebut guru pembimbing (teacher counselor), pembimbing guru (counselor teacher) dan pembimbing penuh (full counselor).
Guru-pembimbing (teacher counselor) adalah tenaga kependidikan yang tugas utamanya mengajar (guru) tetapi melakukan fungsi-fungsi bimbingan. Selama menempuh preservice training mereka disiapkan menjadi untuk guru, tetapi juga secara minimal dibekali oleh keterampilan membimbing, Bisa juga mereka pernah mengikuti penataran bimbingan sehingga dipercaya oleh kepala sekolah untuk melaksanakan bimbingan. Dalam hierarki penguasaan keprofesian bimbingan dan dilihat dari latar belakang pendidikan akademiknya, guru pembimbing termasuk klasifikasi “unprofessional”.
Pembimbing-guru (counselor teacher) adalah pembimbing yang melaksanakan tugas keguruan, namun secara akademik mereka disiapkan sebagai tenaga bimbingan tapi mereka berdwifungsi dengan mengajar sebagai tugas lain dari membimbing. Tenaga macam ini adalah lulusan PPB atau BP jenjang S1 atau D3.
Pembimbing penuh (full counselor) adalah mereka yang secara khusus disiapkan menjadi tenaga bimbingan dan memang di sekolah bertugas secara penuh dalam layanan bimbingan. Mereka itulah yang disiapkan oleh jurusan PPB atau BP yang disebutkan secara eksplisit dalam UUSPN.
Apa pun yang dikatakan UUSPN, bagaimana pun tafsiran orang kepadanya dan sebanyak apa pun kritik yang dilontarkan kepada petugas BP, namun sesungguhnya sumbangan yang telah diberikan dalam bidang pendidikan cukup banyak. Sumbangan itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kesulitan siswa baik dari segi belajar, emosional, dan faktor lingkungan lainnya. Pada siswa, masalah seperti ini perlu penanganan khusus oleh tenaga khusus (pembimbing) dan bekerjasama dengan guru.
Diakui bahwa selama ini banyak petugas bimbingan yang belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik, namun hal ini tidak bisa digeneralisasikan sebagai kelemahan korps pembimbing secara keseluruhan karena jika kita fair menilai kelemahan yang ditemukan dalm bimbingan juga dihadapi oleh tenaga kependidikan yang lain.

2.   Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo sekarang.
Dengan disahkannya UU NO 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberikan makna tersendiri bagi pengembangan profesi bimbingan dan konseling, dan melahirkan berbagai Peraturan Pemerintah sebagai peletakan dasar  pelaksanaan Undang-undang tersebut. PP no 27, 28, 29, dan 30 tahun 1990 mengatur tata laksana pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi serta mengakui sepenuhnya tenaga guru dan tenaga lain yang berperan dalam dunia pendidikan, selain guru.
Peluang lain yang memberikan angin baru badi pengembangan bimbingan dan konseling adalah SK. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 026/1989, yang menyatakan, “adanya pekerjaan bimbingan dan konseling yang berkedudukan seimbang dan sejajar dengan kegiatan belajar”. PP tersebut memberikan legalisasi yang cukup mantap bagi keberadaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. 
Aspek legal keberadaan konselor juga dipeyung UURI No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 yang menyatakan, “Pendidik adalah tenaga kepandidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan ke khususannya, serta bepartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” (PB ABKIN, 2005: 34)



KODE ETIK DAN PROFESIONALITAS BIMBINGAN KONSELING

A. Pengertian
Etika adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang tindakan yang dianut berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok, atau budaya tertentu.  Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya  memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang dimaksud adalah:

1.    Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia; dan mendapatkan layanan konseling tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
2.    Setiap orang/individu memiliki hak untuk mengembangkan dan mengarahkan diri.
3.    Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya.
4.    Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui layanan bimbingan dan konseling secara profesional.
5.    Hubungan konselor-konseli sebagai hubungan yang membantu yang didasarkan kepada kode etik (etika profesi).  

Kode Etik adalah seperangkat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang mengatur mengarahkan perbuatan atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau organisasi bagi para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau anggota dengan masyarakat.
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia wsajib dipatuhi dan diamalkan oleh pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional , propinsi, dan kebupaten/kota (Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab II, Pasal 2)

B.     Dasar Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
1.    Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

a.      Pelanggaran Terhadap Kode Etik
Konselor wajib mengkaji secara sadar tingkah laku dan perbuatannya bahwa ia mentaati kode etik. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik akan merugikan diri sendiri, konseli, lembaga dan pihak lain yg terkait. Pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan sangsi yang mekanismenya menjadi tanggung jawab Dewan Pertimbangan Kode Etik ABKIN sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab X, Pasal 26 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
(1)  Pada organisasi tingkat nasional dan tingkat propinsi dibentuk DEWAN PERTIMBANGAN KODE ETIK BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA.
(2)  Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) mempunyai fungsi pokok:
a.    Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling   Indonesia.
b.   Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus Daerah ABKlN atau adanya perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh Anggota setelah mengadakan penyelidikan yang seksama dan bertanggungjawab.
c.   Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi bimbingan dan konseling.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) adalah suatu organisasi profesi yang beranggotakan guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan kualifikasi pendidikan akademik strata satu (S-1) dari Program Studi Bimbingan dan Konseling dan Program Pendidikan Konselor (PPK). Kualifikasi yang dimiliki konselor adalah kemampuan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling dalam ranah layanan pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir bagi seluruh konseli.
Konselor profesional memberikan layanan berupa pendampingan (advokasi) pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan konsultasi yang dapat menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan dan kesuksesan bagi konseli berdasarkan prinsip-prinsip pokok profesionalitas:

1.    Setiap individu memiliki hak untuk dihargai, diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan pendampingan bagi individu dari berbagai latar belakang kehidupan yang beragam dalam budaya; etnis, agama dan keyakinan; usia; status sosial dan ekonomi; individu dengan kebutuhan khusus; individu yang mengalami kendala bahasa; dan identitas gender.
2.    Setiap individu berhak memperoleh informasi yang mendukung kebutuhannya untuk mengembangkan dirinya.
3.    Setiap individu mempunyai hak untuk memahami arti penting dari pilihan hidup dan bagaimana pilihan tersebut akan mempengaruhi masa depannya.
4.    Setiap individu memiliki hak untuk dijaga kerahasiaan pribadinya sesuai dengan aturan hukum, kebijakan, dan standar etika layanan.
Kode etik Profesi Konselor Indonesia memiliki lima tujuan, yaitu:
1.    Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima layanan.
2.    Mendukung misi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
3.    Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4.    Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5.    Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta permasalahan yang  datang dari anggota asosiasi.



B.   Bentuk Pelanggaran
1.    Terhadap Konseli
a.    Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan   kepentingan konseli
b.    Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
c.    Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
d.    Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
2.    Terhadap Organisasi Profesi
a.    Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
b.    Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).

3.    Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
a.    Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
b.    Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.

C.   Sangsi Pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut.
1.    Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2.    Memberikan peringatan keras secara tertulis
3.    Pencabutan keanggotan ABKIN
4.    Pencabutan lisensi
5.    Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.


D.   Mekanisme Penerapan Sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
2.    Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
3.    Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif  ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4.    Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5.    Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar